Warga Pengungsi Menikah Di Taman Prakerti Bhuana
GIANYAR-fajarbali.com | Pasangan ini sama-sama berasal dari wilayah KRB II sebagai pengungsi yang asalnya dari Banjar Lusuh Kangin, Desa Pakraman Pering Sari, Kecamatan Selat, Karangasem. Pernikahan yang sebelumnya direncanakan di kampung halaman namun sangat tidak memungkinkan, karena wilayahnya masuk zona KRB.
Di sisi lain, melangsungkan pernikahan di kampong halaman akan menemui kesulitan, selain sulit mendapat bahan baku upacara juga kesulitan mendapat bantuan dari warga setempat, karena sama-sama mengungsi di sejumlah titik.
“Selain sulit mendapat bahan baku upacara, warga yang membantu juga sedikit dan yang paling mengganggu adalah kami selalu was-was kalau menikah di rumah, karena takut tiba-tiba ada letusan,” terang Agus Wirawan, Rabu (20/12/2017).
Pria yang bekerja sebagai petuga keamana di Bandara Ngurah Rai ini, akhirnya menemukan solusi, ketika mendapat informasi di Pasraman Prakerti Bhuana bias melangsungkan pernikahan dengan biaya yang hemat. Disamping itu, pernikahan yang dilangsungkan Rabu kemarin dengan sarana upakara yang lengkap dan termasuk hidangan kepada tamu undangan untuk sekitar100 tamu undangan. Diakuinya, biaya yang dikenakan relative murah, Rp 15 juta dan tinggal mengenakan pakaian upacara pernikahan saja.
“Kami bersama keluarga beruntung bias melangsungkan pernikahan di pasraman dan tanpa mengurangi makna dari upacara pernikahan itu sendiri,” jelasnya lagi.
Diakuinya, mempelai wanita saat ini sedang dalam kondisi hamil, dan upacara pernikahan mesti segera dilangsungkan. Disisi lain, Made Ayu Sripati mengaku tidak keberatan pernikahan dilangsungkan di pasraman. Pihak keluarga juga setuju, mengingat rumah mempelai laki dalam kondisi KRB II.
“Bahkan kami sangat nyaman melangsungkan pernikahan disini, ritualnya juga lengkap dan berjalan sesuai rencana,” terang Ayu Sripati.
Hal ini juga diapresiasi Klian Banjar Lusuh Kangin, Putu Adnyana. Dikatakannya, untuk tirta saja yang mesti diambil ke rumah, Banjar Lusuh dan sudah dilakukan upacara ‘Natab Banten Gede’.
“Tidak ada prosesi yang ditinggalkan, bahkan tempat prajuru, pemangku serta karma banjar juga ada dan sebagai saksi,” terang Adnyana. Dikatakannya, pasraman tersebut sangat membantu warga, mengingat prosesi upacara dilangsungkan dengan baik dan membantu warga yang dalam kondisi darurat, seperti pengungsi asal Karangasem.
Pemilik Pasraman Prakerti Bhuana, IB Putu Adi Supartha menyebutkan semenjak Gunung Agung dinyatakan status awas, sudah terdapau 15 warga Karangasem menikah di pasramannya. Bahkan disebutnya lagi, pada Rabu kemarin terdapat dua mempelai yang menikah.
“Daftar tunggunya sampai nanti April 2018, dan tentunya tetap pada patokan hari baik,” terang IB Adi Supartha. Bahkan disebutnya ada warga dari Ubud yang melangsungkan pernikahan di pasramannya dengan alas an tempatnya terlalu sempit dan tidak ada tempat parker.
Pasramannya sendiri memiliki areal yang luas, bias menampung 3.000 warga dan areal parker sampai 150 kendaraan roda empat. Bahkan disebutkannya harga yang ditawarkan relative murah dan disesuaikan dengan keadaan yang meminta upakara. Kendati demikian, pemilik pasraman juga membebaskan kepada yang memiliki upakara untuk menunjuk pemimpin upacara sendiri baik pemangki atau pendeta.
Di sisi lain, melangsungkan pernikahan di kampong halaman akan menemui kesulitan, selain sulit mendapat bahan baku upacara juga kesulitan mendapat bantuan dari warga setempat, karena sama-sama mengungsi di sejumlah titik.
“Selain sulit mendapat bahan baku upacara, warga yang membantu juga sedikit dan yang paling mengganggu adalah kami selalu was-was kalau menikah di rumah, karena takut tiba-tiba ada letusan,” terang Agus Wirawan, Rabu (20/12/2017).
Pria yang bekerja sebagai petuga keamana di Bandara Ngurah Rai ini, akhirnya menemukan solusi, ketika mendapat informasi di Pasraman Prakerti Bhuana bias melangsungkan pernikahan dengan biaya yang hemat. Disamping itu, pernikahan yang dilangsungkan Rabu kemarin dengan sarana upakara yang lengkap dan termasuk hidangan kepada tamu undangan untuk sekitar100 tamu undangan. Diakuinya, biaya yang dikenakan relative murah, Rp 15 juta dan tinggal mengenakan pakaian upacara pernikahan saja.
“Kami bersama keluarga beruntung bias melangsungkan pernikahan di pasraman dan tanpa mengurangi makna dari upacara pernikahan itu sendiri,” jelasnya lagi.
Diakuinya, mempelai wanita saat ini sedang dalam kondisi hamil, dan upacara pernikahan mesti segera dilangsungkan. Disisi lain, Made Ayu Sripati mengaku tidak keberatan pernikahan dilangsungkan di pasraman. Pihak keluarga juga setuju, mengingat rumah mempelai laki dalam kondisi KRB II.
“Bahkan kami sangat nyaman melangsungkan pernikahan disini, ritualnya juga lengkap dan berjalan sesuai rencana,” terang Ayu Sripati.
Hal ini juga diapresiasi Klian Banjar Lusuh Kangin, Putu Adnyana. Dikatakannya, untuk tirta saja yang mesti diambil ke rumah, Banjar Lusuh dan sudah dilakukan upacara ‘Natab Banten Gede’.
“Tidak ada prosesi yang ditinggalkan, bahkan tempat prajuru, pemangku serta karma banjar juga ada dan sebagai saksi,” terang Adnyana. Dikatakannya, pasraman tersebut sangat membantu warga, mengingat prosesi upacara dilangsungkan dengan baik dan membantu warga yang dalam kondisi darurat, seperti pengungsi asal Karangasem.
Pemilik Pasraman Prakerti Bhuana, IB Putu Adi Supartha menyebutkan semenjak Gunung Agung dinyatakan status awas, sudah terdapau 15 warga Karangasem menikah di pasramannya. Bahkan disebutnya lagi, pada Rabu kemarin terdapat dua mempelai yang menikah.
“Daftar tunggunya sampai nanti April 2018, dan tentunya tetap pada patokan hari baik,” terang IB Adi Supartha. Bahkan disebutnya ada warga dari Ubud yang melangsungkan pernikahan di pasramannya dengan alas an tempatnya terlalu sempit dan tidak ada tempat parker.
Pasramannya sendiri memiliki areal yang luas, bias menampung 3.000 warga dan areal parker sampai 150 kendaraan roda empat. Bahkan disebutkannya harga yang ditawarkan relative murah dan disesuaikan dengan keadaan yang meminta upakara. Kendati demikian, pemilik pasraman juga membebaskan kepada yang memiliki upakara untuk menunjuk pemimpin upacara sendiri baik pemangki atau pendeta.